Sabtu, 22 Desember 2012

PETIR


Petir
Di tepi jalan yang penuh dengan sorotan lampu kota Jakarta, aku duduk di trotoar yang dipenuhi oleh penjual minuman hangat dan dingin yang menggunakan sepeda tua untuk membonceng keranjang peralatan jualannya.
            Pada arah jam 5, ku lihat pula seorang ibu yang tengah menggendong bayi yang ku perkirakan berusia sekitar 7 bulan. Ia memandang lemah ke lampu-lampu Jakarta di malam hari. Ku hampiri ia, dan ia menatapku penuh harapan.
“ dik, anak ini sedang sakit. Tolong bantu ibu untuk membelikan obat untuknya.” ratapnya penuh harap.
            Ku rogoh kantongku, hanya ku temukan uang lima ribu rupiah. Namun ada yang mengganjal niatku. Aku memerlukan ongkos sebesar tiga ribu rupiah untuk kembali ke rumah.
            “bu, aku hanya memiliki uang 5000. Setidaknya, ini bisa untuk membeli obat generik” kataku.
Ibu itu menatapku penuh haru. Sepenglihatanku, ia tampak ragu mengambil uang pemberianku. Tetapi, aku masukkan ke dalam pangkuan adik kecil yang ada di dalam dekapannya.
“terimakasih, nak” jawabnya, lirih.
            Kemudian aku berpikir, pulang naik apa? Oh, aku lupa. Aku sedang bertengkar hebat dengan ibuku. Mungkin, jalanan inilah tempat tinggalku saat ini. Di mana tempat aku termenung menerima nasib hidupku. Entah nasib, atau takdir.
            Ku buka handphoneku, mencari kontak yang sekiranya bisa ku andalkan saat ini. Berharap ada yang mau menampungku saat ini. Setidaknya, aku tidak seperti debu-debu jalanan di Jakarta ini, yang berterbangan tanpa arah dan tujuan.
“Ra, kamu di mana? Di rumah ga? Bisa nampung aku?”
“iya Re, aku di rumah. Oke, ke sini aja.”
“ga pegang uang sama sekali, bisa jemput aku?”
“oke. Wait a minute.”
Rara, sahabatku sejak aku berada di kelas 2 SMA. Keluarganya sempurna. Ayahnya seorang sutradara, dan ibunya seorang arsitek. Aku iri, sangat aku akui. Tak sebanding dengan aku. Anak dari seorang pria yang hanya bisa membuahi ibuku, dan pergi entah ke mana, dan ibuku yang berprofesi sebagai pedagang roti keliling, yang mencari uang untuk biaya hidup kami selama ini.
            Hanya berdua dengan ibu, aku menjalani hari demi hari. Hingga menemukan ayah angkat, yang saat ini membiayai kuliahku. Panggil saja Pak Gunandi. Ibu berubah, dahulu kami selalu bersabar untuk menjalani cobaan hidup. Kini, kebiasaan ibu setiap hari adalah mencaci maki aku.
            Tak lama, Rara datang dengan senyuman hangatnya. Ia menyuruhku masuk ke dalam Honda Jazznya. Diam, hanya itu yang aku lakukan saat berada di dalam mobil. Sampai akhirnya suara Rara memecahkan suasana.
          "Re, berantem lagi sama ibu lo?”
          “nggak, udah ga usah bahas ibu gua dulu. Gua mumet.”
          “oke gua ngerti. Udah makan? Mama gua buatin spaghetty buat lu.”
          “iya, gua laper”
            Sesampainya dirumah Rara, aku hanya bisa merenung. Kata-kata ibu membuat aku sadar, adanya cairan putih hangat yang mengalir deras di pipiku. “Sombong banget lo! Kita nih orang susah, ga usah begaya jadi anak orang kaya. Pulang bantuin ibu lo ini kek. Jangan mentang-mentang gua ga biayain lo, terus gua ga lo anggep yah!”. Kata-kata ibuku terputar keras dan cepat di kepalaku, seperti kaset rusak. Kata-kata itu terus terputar. Ibu, tidak kah kau mengerti perasaanku? Selama ini aku berusaha apapun demi membantu dan membahagiakanmu. Tapi, kau tak pernah melihat sedikit pun semua perbuatanku itu.
            Hujan turun dengan lebat. Suara petir seolah membelah lautan biru kehitaman di atas kepaku. Dengan kilatnya yang hanya beberapa detik, tapi cukup menggelitik hatiku. Lucu, entah hanya kebetulan atau tidak. Setiap aku dan ibu bertengkar, suara amarah dari langit pun ikut mengiringi pertengkaran kita. Dosa, aku tau dan mengerti, aku pun tak mau melawan ibu. Tetapi perkataan ibu akhir-akhir ini, sangat melukai hatiku.
            “lo makan dulu, Re.” Suara Rara tiba-tiba membuyarkan lamunanku.
            Dengan sigap ku hapus air mataku. Aku tak suka jika ada orang lain yang melihatku menangis. Sahabatku itu memelukku tanpa basa-basi, kurasakan ketenangan dalam dekapannya. Ya tuhan, terima kasih karena Kau telah hadirkan Rara sebagai sahabat yang bisa memahami apapun masalah yang kulalui. Kulepas pelukannya, dan memakan spaghetty yang jarang sekali aku makan, mungkin tidak pernah aku beli dengan uangku sendiri. Begitu lebih tepatnya.

***

    Pagi ini, aku terbangun dan merasakan kerinduan terhadap Ibu. Aku melihat ke sekeliling kamar, tetapi tak ada Rara. Apakah Rara sudah bangun? Mustahil. Dia wanita yang sangat sulit bangun di pagi hari.
Aku mencoba berjalan perlahan ke arah pintu. Berharap menemukan Rara di luar kamar. Ku raih gagang pintu, dan tiba-tiba..
“SURPRISE!!!!!!! HAPPY BIRTHDAY TO YOU. HAPPY BIRTHDAY TO YOU. HAPPY BIRTHDAY. HAPPY BIRTHDAY. HAPPY BIRTHDAY TO YOU.”
  Astaga, aku lupa kalau hari ini usiaku bertambah. Tanggal 19 di bulan Desember. Tapi sungguh, aku membenci hari yang disebut ulang tahun. Aku tak pernah mendapatkan sesuatu yang spesial dari orang yang ku anggap spesial.
“terima kasih banyak, ya. Beneran deh gua lupa, serius.”
“makanya lo jangan sedih terus, ayo make a wish! Tiup lilinnya!”
Ku pandang Rara, ku tahan gumpalan air mata dalam kelopak mataku. Terpintas wajah ibuku, karena biasanya ibu mencium keningku. “Ya Tuhan, apapun yang terjadi, sesulit apapun cobaan yang kau beri, jangan pisahkan aku dengan ibu dan Rara. Aku sungguh mengingikan dua orang spesial ini mengantarku membuka gerbang kesuksesan”.
            Ku tiup lilinnya, memotongnya dan bergegas berangkat ke kampus hari ini. aku dan Rara satu kampus, tapi tidak satu jurusan. Aku di jurusan Ekonomi sedangkan Rara memilih jurusan Biologi. Sungguh bertolak belakang, bukan?
***
            Dosen ini sungguh hebat. Beliau mengajar dengan cara yang berbeda. Yang membuat aku ingin menjadi lebih dari saat ini. Ya, beliau hanya dosen Agama Islam. Tetapi, entah apa yang membuat ia begitu menarik. Di usia muda, beragama, motivator, dan sukses. Siapa yang tak menyukainya? Hanya saat pelajarannya lah, seluruhnya diam dan mendengarkan.
Namanya Pak Ger, dan beliau belum MENIKAH. Ia mampu membuat pelajaran Agama Islam yang biasanya membosankan, menjadi menakjubkan. Ini tidak berlebihan, sungguh.
            “Tere kamu ulang tahun? Selamat, ya. Semoga selalu di lindungi Allah SWT” ujar Pak Ger.
Yak! Karena beliau adalah Dosen mata kuliah Agama Islam, beliau hanya menempelkan kedua telapak tangannya, dan diletakkan di depan dadanya. Bukan mukhrim, itu alasannya.
“terimakasih, Pak. Semoga bapak juga cepat diberi jodoh, ya. Amin”    Aku pun sama, dengan ala muslimah menempelkan kedua tangan di depan dadaku. Dan meledeknya seperti itu pun sudah biasa, karena kami terbilang akrab.
            Selesai mata kuliah dari Pak Ger, aku mengangkat telepon dari ayah angkatku. Dia  seorang yang sangat baik. Dia bukan bagian dari diriku, tetapi dia mau membiayai sepenuhnya pendidikanku.
Ya, aku tau alasannya. Dia tidak memiliki satu pun anak perempuan, dan istrinya pun telah tiada. Dia baik juga terhadap ibuku, tetapi entahlah. Semenjak kehadirannya, ibu lebih sensitif. Ibu berpikiran aku melawannya. Ya, itu paradigma ibu. Ibu tak melihat perjuanganku ini untuk membahagiakannya.
            Tak terasa hari sudah hampir malam. Aku menunggu Rara di depan mobilnya, yang parkir di area parkir khusus mobil. Kabar ibu, sungguh aku tak tahu. Di tengah keasyikan yang membosankan ini, kilat tiba-tiba terpancar di lautan biru di atas kepalaku. Ya Tuhan, aku tak menginginkan petir ini. Petir yang selalu mengingatkan dosa-dosaku pada ibu.

***
Apa?! aku sudah terbaring diatas kasur Rara. Kulihat jam, hah? Jam 7 pagi, tadi malam saat ada kilat, kejadian apa itu? Apa aku hanya bermimpi?
Tidak, masih terlihat kado-kado dari teman kuliahku di lantai. Berarti, aku tidak sedang bermimpi. Rara yang tertidur di sebelahku, terbangun. Letih, terlihat dari wajahnya.
“lo pingsan tadi malam di parkiran kampus.”
“Oh, gitu.  Maaf ngerepotin lu banget, Ra.”
Aku ingat, karena kepalaku terlalu pusing dan rindu kepada ibu, aku tak dapat menopang tubuh indahku ini.
             “tadi semaleman badan lo panas, Re, terus lo ngigo. Begadang nih gua ngompres kepala lu”
“ngigo apaan, Ra? Aaa makasih banget, Ra.”
“kaga jelas, pokoknya ada kalimat ibu ibu gitu”
 “oh, gitu”
             “lo ga hubungin ibu lo, Re?”
  “entah lah, Ra. Anter gua pulang yuk hari ini!”
              “oke, sahabatku”
            Rara mencoba menghiburku, ia berkaraoke di kamarnya dengan lagu-lagu yang menurutku tidak masa kini. Ahahaa. Dia bilang, mudah-mudahan tingkahnya itu mampu membuat moodku kembali ke atas. Ia berhasil, kemudian ia mengantarku pulang. Ra, semoga persahabatan kita sampai jadi nenek-nenek. Dan until die.

***
Tidak ada ibu, kemana ibu? Sama sekali tak ku dengar suaranya di rumah kontrakan mungilku ini. Aku ingin mencium kakinya, meminta maaf kepadanya.
“ibumu kemarin di bawa oleh Gunandi”
 Salah satu tetangga akrab di sebelah kontrakan ibu bilang seperti itu. Mengapa dia membawa ibu? Kemarin dia meneleponku dan tidak membicarakan apa-apa, selain tentang kuliahku. Otakku berpikir keras, aku sempat berpikir negatif tentang Gunandi dan ibu.
“Terima kasih ya, bu”
Aku kembali pergi dengan Rara, dan tidur dikamar Rara lagi dan lagi. Sudah tanggal 21 saja besok. Berarti, lusa tanggal 22 Desember? Hari ibu. Ya, betul. Tetapi sampai saat ini aku tak tahu sama sekali bagaimana kabar ibuku.
            Ku buka handphoneku dan melihat panggilan keluar. Dan aku melihat panggilan tak terjawab dari ibu di tanggal 19 Desember lalu. Berarti, ibu mencariku. Mungkin saja ia ingat hari ulang tahunku. Atau? Ingin marah-marah akan kelakuanku akhir-akhir ini.
Ku telepon kembali nomer ibu, tersambung. Tapi suara ibu pun tak kunjung ku dengar. Kemana ibu? Aku semakin penasaran. Sampai akhirnya, aku tertidur.

***

            Pagi ini, aku berniat mencari ibu ke rumah ayah angkatku. Tapi, kali ini aku tidak diantar Rara. Aku pergi dengan angkutan umum, Rara membekali aku uang.
            “assalamualaikum.wr.wb”
            “wa’allaikumsalam.wr.wb”
            Terlihat pria tampan keluar dari pintu rumah mewah itu, bang Fajar. Anak tunggal keluarga Gunandi. Ia sedang kuliah di jurusan kedokteran. Kata ibu, dia anak yang beragama dan berpendidikan. Jelas, pikir ku, keluarganya sempurna. almarhum ibunya pergi saat usianya 18 tahun. Psikologi anak berasal dari orang tuanya.
          “bang, ada pak Gunandi?”
          “ada, masuklah.”
          Ya tuhan, mengapa hatiku berdegup kencang. Entah, apa yang ku rasakan saat ini. tak bisa ku ungkapkan lewat apapun. Ku berjalan mengikuti bang Fajar menuju kamar tamu. Aku langsung bisa menebak, kalau ibu menginap disini. Tapi mengapa? Tidak biasanya ibu seperti ini.
            Ya Tuhan, aku kaget melihat ibu terbaring lemah di atas kasur mewah pak Gunandi. Dibalut daster murah dan selimut, sungguh ibu sangat kurus. Ada apa? Baru 3 hari aku pergi, ibu sudah begini. Aku hampiri pak Gunandi dan bertanya.
            “pak, ada apa dengan ibu?”
            “kemari lah, kita berbicara di luar.”
            Aku mengikuti langkah pak Gunandi, menuju ruang tamunya. Duduk dan mencoba mendengar apa yang terjadi.
              “ini, ambillah”
            Pak Gunandi memberiku sebuah kado. Aku membukanya, isinya sebuah buku ekonomi makro bekas dan sweater hangat dari rajutan. Dari siapa ini? Di dalamnya ada secarik kertas. Ku baca isinya.
“Aku, wanita yang selama ini melahirkanmu dan membesarkanmu. Meminta maaf atas kekasaran yang selama ini aku lakukan. Sungguh perasaanku sedih, tak bisa memenuhi kebutuhanmu. Hanya buku dari toko bekas dan rajutan buatan tanganku ini, yang hanya bisa ku beri di hari ulang tahunmu. Aku tau, engkau benci denganku , nak. Tapi aku mencintaimu sampai kapan pun. Aku mencoba menghubungimu. Ternyata tak kau angkat. Selama ini aku sembunyikan sesuatu, maafkan ibumu ini, nak. Maafkan. engkau akan mendengarkan semua penjelasan ini langsung dari Gunandi.
Salam cinta dari ibu, selamat ulang tahun.”
 “pak, apa yang ibu sembunyikan selama ini? aku tak mengerti.”
            “aku akan cerita perlahan, Re. Dahulu, ibumu menikah dengan seorang pria keturunan Palembang. Tetapi, orang tua dari ayamu tidak menyukai ibumu. Sehingga ayahmu pergi meninggalkan ibumu.”
            “tak usah bahas ayahku, aku tak pernah memiliki ayah!”
            “tapi aku ayah kandungmu, Re”
            Diam. Hening. Tak percaya. Ku tatap wajah Gunandi. Ayah kandungku? Apa lagi ini? rumit. Aku ingin pingsan. Tetapi rasa ingin tahuku bergejolak.
            “apa maksudmu? Kau berbohong. Aku tak pernah memiliki ayah.”
            “aku tahu kau membenciku. Tapi, maafkan aku. Dahulu aku hanya menuruti mau dari ibuku yang sedang sakit. Maka dari itu aku membantu perekonomianmu saat ini. dengan datang sebagai ayah angkatmu. Karena  aku yakin, kau membenciku.”
          “aku berterimakasih atas kebaikanmu saat ini, Pak. Tapi aku tak pernah merasakan kehadiran  seorang ayah. Bahkan tidak akan pernah.
          Aku pergi dari rumah itu, ibu sakit. Aku mengerti kenapa ibu memarahiku kemarin. Karena aku terlalu membela pak Gunandi, orang yang selama ini sangat jahat denganku dan ibu.
            Hari sudah malam, hujan. Di tengah jalan perumahan ini, aku bebas berjalan. Merasakan sakit yang begitu dalam. Yang harus aku terima. Benar kata orang-orang, hidup itu seperti roda yang berputar. Siap atau tidak, kita harus melaluinya.
            Ternyata, sudah dini hari. Berarti aku harus bermalam di bawah lampu jalanan ini. Tanggal 22 Desember, ku berlari kembali menuju rumah Gunandi. Basah kuyup bajuku ini. Astaga, aku pusing. Aku bingung, apa lagi yang akan terjadi nanti, harus aku terima. Dia ibuku, dia hebat, dia menyembunyikan kebohongan ini demi kebaikanku, mengapa aku meninggalkannya? aku belum meminta maaf padanya.
          Ku buka pintu rumah Gunandi tanpa permisi, lari ke kamar di mana ibu tidur. Dia terbangun kaget. Memandangku dengan senyuman, ku peluk dan menangis di pangkuannya. Ya Tuhan, dosaku kepada ibu. Petir kali ini, menemani tangis bahagiaku dengan ibuku. Ia menangis, dan mengusap kepalaku. Aku menatapnya dengan haru. Meminta maaf berkali-kali, dan ibu hanya mengangguk, lalu memelukku lagi.
            “ ibu, selamat hari tehebat untuk ibu di hadapanku. Aku cinta ibu karena Allah. Maafkan aku, ibu”
            Ibu memelukku. Di hari ibu ini, peluk lah ibu kalian, minta maaf lah kepadanya. Karena setiap hari pasti kita selalu menyakitinya. Lakukan yang terbaik, selama ibumu masih di hadapanmu. tidak hanya tanggal 22 Desember, tapi buatlah setiap hari, adalah hari istimewa untuk seorang Ibu.
Ibu ibu ibu ibu, yang terakhir baru Ayahmu. Ku hampiri Gunandi,  dan memeluknya.
            “sesungguhnya, ini adalah pertama kali aku mendapat pelukan dari seorang ayah”
            Gunandi memelukku erat. Meskipun tidak pernah ada ketentuan tertulis tentang hari ayah, tetaplah berterimakasih kepadanya, karena aturan yang dibuat mereka, yang membuat kita lebih dewasa. Dan ayahku Gunandi, secara tidak langsung telah menanamkan sifat mandiri kepadaku. Aku maafkan dia, biar Tuhan yang menentukan jalan selanjutnya.
           Aku yakin, petir kali ini mendukung semua yang aku perbuat. Di rumah yang hangat ini, penuh dengan kenyataan pahit. Tetapi, tidak akan pernah dengan ibuku. Wanita yang kuat dan berhati mulia. Selamat hari ibu!





        (AYR) 

2 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Search Box

HALO

Foto saya
Jawa Barat, Bogor, Indonesia
hello, nama gua ayundayani rosadi. buat lebih akrab panggil aja gua yonde. gua sempet SD di SDN 15 pagi Tugu Utara. terus gua sempet SMP juga di SMPN 136 Jakarta Utara. gua juga sempet SMA nih, di SMAN 75 Jakarta Utara. sekarang gua mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta, jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan. Program Studi Jurnalistik. tepatnya dikelas Jurnalistik 1b. gua Announcer di @porosfm (polytechnic radio station) thank you \m/

Pengikut